Selasa, 17 Mei 2011

LANDASAN HUKUM MENGENAI GENDER DI INDONESIA

Landasan Hukum
Ø Amandemen UUD 1945, Pasal 28B ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1)
Ø UU No.20/2003 ttg Sistem Pendidikan Nasional
Ø Inpres No.9/2000 ttg Pengarusutamaan Gender
Ø Perpres No.7/2005 ttg Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009
Ø Perpres No. ttg Rencana Kerja Pembangunan Th. 2006
Ø Hasil Kesepakatan Dunia ttg :Education for All, Convention on the Right of Child, Millenium Development Goals, Word Summit on Sustainable Development.
Ø UUD 45 : Pasal 28B ayat (1): Bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia
Pasal 31 ayat (1): Bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
Ø UU. 20/2003 TTG SISDIKNAS :
Pasal 4 (1):
Ø Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan kemajemukan bangsa
Pasal 4 (3):
Ø Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat    
Pasal 5 (1) :
Ø Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
Pasal 5 (5):
Ø Setiap warga Negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat
Ø Pengarusutamaan Gender (Inpres No.9 Tahun 2000) : Suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender (KKG) melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam  proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas seluruh kebijakan dan program di berbagai  bidang kehidupan dan sektor pembangunan

LATAR BELAKANG MASALAH
Gender bukanlah jenis kelamin.Gender dan jenis kelamin keduanya membicarakan laki-laki dan perempuan.Jenis kelamin  (sex) secara umum dipergunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedangkan gender mengidentifikasi konstruksi sosial budaya tentang laki-laki dan perempuan.Oleh karena itu gender bukanlah tentang perempuan, tetapi tentang laki-laki dan perempuan, dengan demikian isu gender berkait dengan relasi laki-laki dan perempuan. Gender sebagai konstruksi sosial merupakan isu yang dinamis dan berkembang sejalan dengan pemikiran manusia tentang kehidupan sosial yang diinginkannya, khususnya dalam mencapai keadilan sosial (social justice).Oleh karena itu, gender hanyalah salah satu bagian dalam keadilan sosial.Perbedaan gender terjadi seolah karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksikan secara sosial dan budaya melalui kehidupan agama maupun negara, pada akhirnya menurut Mansour (dalam Depdiknas, 2004) seringkali dianggap sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Perbedaan yang terus dilakukan dengan upaya sengaja membedakan  akan semakin memperluas kesenjangan gender (gender gap). Untuk mengatasi kondisi diatas upaya lebih awal untuk mengenalkan keadilan sosial tersebut salah satunya melalui pendidikan di keluarga. Hal ini sejalan dengan Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa pendidikan dilaksanakan dalam 3 jalur, yakni pendidikan formal, non fornal dan informal.Artinya bahwa keluarga merupakan wahana dan juga sekaligus sasaran pendidikan.Sebagai wahana pendidikan keluarga  merupakan tempat terjadinya proses pendidikan anak dengan orang tua sebagai pendidik.Sedangkan sebagai sasaran pendidikan keluarga (anggota-anggota keluarga) merupakan sasaran didik dari program-program pendidikan keluarga (family life education).
Apabila pendidikan dasar yang dilakukan di lingkungan keluarga  diimplementasikan dalam pendidikan keaksaraan keluarga (family literacy) maka akan membantu mengatasi permasalahan bagi pendidikan non formal, yang selama ini belajar baca, tulis, hitung melalui kelompok memiliki kendala bagi sebagian masyarakat  yaitu  masih adanya budaya rasa malu mengikuti keaksaraan fungsional melaui kegita  permbelajaran kelompok dan adanya kesibukan dirinya sehingga jadwal pembelajaran bersama sulit untuk dipenuhi sebagaian sasaran program keaksaraan. Disamping itu juga faktor geografis pada daerah tertentu kurang memungkinkan kegiatan pembelajaran dilakukan secara pembelajarean kelompok dan karena domisili warga belajar saling berjauhan Salah satu cara yang dapat ditempuh sebagai solusi dari permasalahan dia atas melakukan pembelajaran dirumahnya masing-masing yang dilakukan oleh anggota keluarga di rumah atau lebih dekenal dengan pembelajaran keaksaraan keluarga. Melaui kegiatan pembelajaran keaksaraan berbasis keluarga selain kegiatan pembelajaran dapat lebih efektif, juga materi pembelajarannya dapat dikaitkan dengan pemecahan masalah keluarga, diantranya adalah memecahkan permaslahan bias jender dalam keluarga dalam rangka peningkatan kualutas hidup keluarga.  Langkah pemecahan masalah pembelajaran keaksaraan berbasis keluarga dapat pula digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berkait dengan pembedayaan diantaranya adalah apakah pendidikan kesaaran yang dilakukan dalam lingkup keluarga dapat  mendukung terjadinya pemberdaay keluarga dan apakah pendidikan keaksaraan yang dilakukan dapat memberdayakan keluarga, bisakah peserta didik menjadi berdaya, bisakah pendidikan keaksaraan memberikan hasil, dan bisakan keaksaraan berfungsi membebaskan keterbelakangan. Pandangan Sanapiah (2004) bahwa dapat tidaknya keaksaraan keluarga dapat memberdayakan diri warga belajar dan keluarga tergantung sosok pendidikan keaksaraan macam apa yang dilaksanakan dan perspektif dalam hal apa yang digunakan dalam memaknai “Apa” dan “untuk apa” pendidikan keaksaraan itu sendiri dilakukan di keluarga.Dalam konteks pendidikan keakasaran untuk memberdayakan keluarga maka yang perlu diperhatikan adalah keluarga perlu diberdayakan untuk memerangi banyaknya masalah yang merintangi kehidupan keluarga. Masalah tersebut dapat berbentuk buta aksara, kesehatan yang rendah, penyakit, kurang gizi (gizi buruk), pendapatan rendah, kemiskinan, produktifitas rendah, kedudukan sosial yang termajinalkan, dan lain-lain. Masalah-masalah yang dihadapi dan cara mengatasi masalah tersebut juga berbeda-beda sesuai dengan kawasan, konteks jender dan faktor-faktor lain. Umpamanya banyaknya kaum perempuan dihadapkan pada masalah diskriminasi gender, seperti kebiasaan-kebiasaan sosial berhubungan dengan mengasuh anak, pendidikan, perkawinan, pekerjaan dan aspek-aspek hidup lain yang merintangi pertumbuhan kaum wanita. Dari berbagai gambaran diatas menunjukkan bahwa betapa besarnya peran keluarga dalam melakukan fungsi utama dan pertamanya dalam menanamkan rasa adil jender dalam sebuah keluarga.Sedangkan setiap keluarga memiliki konteks yang berbeda dengan keluarga lainnya dalam pengarusutamaan gender yang terjadi. Agar pembelajaran keaksaraan di keluarga dapat terwujud nyata, sedangkan tema-tema kesetaraan jender dapat tersampaikan dengan benar maka perlu disusunnya menu acuan pembelajaran  yang dapat memudahkan para tutor keluarga melakukan pembelajaran di masing-masing keluarga
1.1.         Tujuan

Tujuan dari diadakannya Pelatihan Pendidikan Berwawasan Gender adalah :
1.     Meningkatkan Partisipasi Pendidikan:
2.     Meningkatkan akses dan daya tampung    pendidikan
3.     Menurunkan angka putus sekolah siswa perempuan
4.     Meningkatkan angka melanjutkan lulusan dengan memberikan perhatian khusus pada anak-anak yang tinggal di daerah tertinggal
5.     Dukungan pelayanan-pelayanan secara terintegrasi untuk menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab, serta membantu keluarga yang kurang mampu dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya
6.     Penyesuaian berbagai upaya dengan situasi dan permasalahan masing-masing daerah atau wilayah, serta dikoordinasikan bersama oleh seluruh stakeholder
7.     Menyempurnakan kurikulum dan memperbaiki materi ajar yang lebih sensitif gender
8.     Meningkatkan kualitas tenaga pendidik, sehingga memiliki pemahaman yang memadai mengenai masalah gender, bersikap sensitif, serta menerapkannya dalam proses belajar mengajar
9.     Melakukan analisisi terhadap kebijakan  dan peraturan perundangan yang masih bias gender
10.                        Merumuskan dan menetapkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan pendidikan yang berwawasan gender è UU Sisdiknas
11.                        Meningkatkan kapasitas institusi pengelola pendidikan yang memiliki kemampuan untuk merencanakan, menyusun kebijakan, strategi dan program pendidikan berwawasan gender secara efektif dan efisien
12.                        Mengembangkan pusat-pusat studi wanita serta memperkuat pusat-pusat studi lainnya sehingga berwawasan gender sebagai mitra pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan pendidikan berwawasan gender

1.2.         Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat dan masukan bagi :
·        Institusi Sekolah

a.     Tercapainya pembelajaran yang berwawasan gender
b.     Tercapainya manajemen sekolah berwawasan gender
c.      Terciptanya lingkungan sekolah berwawasan gender

·        Instansi Yang Terkait

a.     Dapat menjadi bahan pertimbangan untuk memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan yang berwawasan gender
b.     Dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengeluarkan program-program pendidikan yang responsive gender

·        Masyarakat Luas
a.     Memberikan penyadaran tentang pentingnya pemahaman gender secara benar
b.     Sebagai bahan pertimbangan untuk berupaya seoptimal mungkin turut serta mengembangkan pendidikan dalam keluarga yang responsive gender

Tidak ada komentar:

Posting Komentar